Sumber : Koran KOMPAS ( Selasa, 18 Maret 2003 )
Brem, Khas tetapi Berkendala
MENDENGAR nama Kabupaten Madiun, salah satu bayangan yang melintas di benak siapa saja yang mendengar, besar kemungkinan terarah pada makanan khas brem batangan yang menjadi ciri khas kabupaten yang berbasis agraris itu.
Dengan rasa manis yang khas, makanan berbahan utama beras ketan yang diolah dicampur ragi itu memberi rasa hangat bagi tenggorokan. Jelas, dari kekhasan rasa dan ketenarannya, brem menjadi salah satu produk unggulan yang sangat potensial dijual dan dieksplorasi. Selain brem, produk unggulan kabupaten yang luasnya 1.010,86 kilometer persegi itu adalah lempeng puli dan keripik garut. Hitungan selama ini, brem yang dihasilkan sekitar 600-1.000 kilogram per hari.
Eksistensi brem hingga kini masih diakui dan menyangga perekonomian banyak elemen masyarakat, selain produksi padi. Mulai dari pengusaha, penjual kelas outlet hingga kelas asongan di terminal, dan karyawan pabrik pengolahan menggantungkan hidup dari bisnis brem. Menurut data, pabrik pengolahan brem di Madiun seluruhnya berjumlah 56 unit home industry.
Data dalam buku potensi dan profil industri makanan Kabupaten Madiun yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Madiun tahun 2002 lalu, ratusan warga menggantungkan hidup dari sektor industri kecil yang tersebar di dua desa, Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan dan Desa Bancong, Kecamatan Wonoasri. Keduanya berjarak sekitar 21 dan 16 kilometer dari pusat pemerintahan kabupaten.
Fakta yang ditemui selama ini, di luar dua desa tersebut, usaha pembuatan brem menemui kegagalan. Belum ada penelitian yang mengungkap alasan ilmiahnya.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Madiun, menganggap keunikan dan misteri tersebut merupakan keunggulan. Begitu pula dengan stigma masyarakat Indonesia yang telanjur menghubungkan brem dengan Madiun.
Akan tetapi, sebagaimana layaknya dalam dunia marketing, di mana keunikan dan keunggulan bernilai jual tinggi serta memiliki nilai tawar, seakan tidak berlaku pada brem. Perkembangan makanan khas itu stagnan. Pemasarannya masih sebatas di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, dan beberapa wilayah di Jawa Barat. Ada juga yang dikirimkan sendiri oleh para pengusahanya ke beberapa wilayah di luar Jawa.
Sadar dengan potensi yang melekat pada brem, Disperindag sejak tahun 1990-an mulai membina para pengusaha home industry itu. Selain mengucurkan kredit lunak, berbagai pelatihan diberikan, seperti pelatihan manajemen hingga memotivasi agar ada diversifikasi bentuk dan kemasan.
Bentuk dan kemasan, diyakini Pemkab Madiun akan mendongkrak penjualan. Bahkan, untuk menjangkau margin konsumen, salah satu pengusaha brem cap Suling Mas membuat brem rasa cokelat, ada juga yang mengemas seperti permen.
Munculnya kendala untuk membuat brem semakin "go public", terutama kultur para pengusahanya yang dikenal nrimo dan cepat puas diri dengan kondisi yang ada. Selama ada yang mau beli, tak perlu repot-repot berinovasi, apalagi dengan teknologi tinggi. "Berat mengubah kebiasaan itu," kata Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kabupaten Madiun, Rori Priambodo.
Dari sekitar 56 unit usaha brem yang ada, mereka yang benar-benar mengelola secara profesional bisa dihitung dengan jari. Sisanya, menjadikan usaha sampingan selain bercocok tanam padi. Akibatnya, kualitas brem yang dihasilkan pun jauh dari kualitas yang bisa dicapai. Ya, itu tadi, yang penting laku.
Motivasi yang diberikan pemkab agar inovasi dan kreativitas diutamakan masih jauh dari harapan. Pemkab pun mengaku angkat tangan mengubah kultur yang telah demikian lama melekat.
"Bagi mereka, yang penting modal bisa cepat berputar," kata Kepala Sub-Dinas Industri Disperindag Kabupaten Madiun Agus Trisilo.
Dilematis, itulah kata yang tepat dalam menggambarkan tantangan pemkab dalam memacu agar usaha brem benar-benar dikelola profesional. Di satu sisi ada pihak yang tertarik memasarkan, di sisi lain pengusaha brem terbentur permodalan.
Salah satu upaya Disperindag, yakni mengupayakan agar brem bisa menjadi salah satu snack yang disajikan dalam perjalanan kereta api (KA) eksekutif. Penjajakan kerja sama itu telah dilakukan dengan PT Kereta Api Inonesia (KAI) Daerah Operasi (Daops) VIII Surabaya, tetapi hingga kini masih belum ada keputusan akhir.
Tarmiati (53), pengusaha brem cap Suling Mas merupakan salah satu pengusaha yang inovatif dan kreatif, yakni dengan membuat resep brem rasa cokelat, tidak lagi konvensional, brem batangan kuning berasa sedikit asam dan terasa alkoholnya.
Dengan pengelolaan perusahaan yang lebih maju, pemasaran produk yang ia hasilkan telah menjangkau supermarket di Madiun, minimarket, dan outlet di Bandara Juanda Surabaya. Bahkan, brem produksinya telah memenuhi beberapa outlet pedagang oleh-oleh di Sidoarjo. Beberapa wilayah di Jateng, Bali, Yogyakarta, dan beberapa wilayah di Jabar juga telah dijangkau.
Usahanya yang telah ditekuni sejak tahun 1970-an itu terbukti mampu menghidupi keluarganya, termasuk membesarkan keempat putranya yang semuanya berhasil menjadi sarjana.
Masa depan brem sebenarnya masih terbuka lebar dengan kelebihan dan keunggulannya. Akan tetapi, bila pengelolaan dan pembinaan tidak tepat sasaran dan tanpa visi yang jelas, bukan tidak mungkin nasibnya berakhir seperti Jeruk Nambangan dan Melon Madiun yang sempat berjaya. Namun, kini tinggal kenangan. (Gesit Ariyanto)
Links :
- Lumbung Padi
- Data Teknis
- Template
- Tafsiran
- Leuit
- Tuak
- Cara Membuat Brem
- Brem Berkendala
- Lichen
- Brem Rekor Muri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar