Jumat, 17 September 2004
"Leuit", Lumbung Padi Orang Baduy
Lumbung padi biasa disebut leuit oleh orang Baduy. Leuit merupakan simbol ketahanan pangan bagi orang Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Ketahanan pangan sangat penting mengingat hubungan dengan dunia luar sangat dibatasi. Oleh karena itu, orang Baduy berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri.
Padi yang dihasilkan dari huma merupakan sumber pangan utama orang Baduy. Setelah lima bulan ditanam, padi siap dipanen dan kemudian disimpan dalam lumbung.
Lumbung padi berbentuk panggung yang ditopang oleh empat kayu penyangga atau tihang. Tingginya sekitar satu meter dari atas tanah. Tihang menyangga bilik leuit, tempat menyimpan padi, yang terbuat dari anyaman bambu.
Pintu lumbung ada di bagian abig-abig, posisinya di atas bilik dekat dengan atap. Pintu berukuran kecil sekitar 40 x 50 cm. Atap lumbung terbuat dari daun sago kirai (sejenis palem) yang dianyam. Supaya kuat, atap ditahan dengan gapit yang terbuat dari belahan bambu.
Ukuran leuit bervariasi tergantung pada luas huma yang dikelola. Masyarakat Baduy biasanya membangun leuit dengan kapasitas 500-1.000 ikat padi. Umumnya bilik lumbung berukuran panjang 1,5 meter, lebar 1,5 meter, dan tinggi empat meter. Leuit dengan ukuran seperti di atas bisa menampung padi sekitar 500-600 ikat. Seikat padi setara dengan tiga kilogram beras.
LUMBUNG padi orang Baduy didesain khusus supaya mampu menyimpan padi dalam jangka waktu yang lama serta bebas gangguan tikus.
"Leuit mampu menyimpan padi sampai seratus tahun," tutur Alim (53), Kepala Kampung (Jaro) Cikeusik, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten, tentang keunggulan lumbung padi masyarakat Baduy.
Supaya padi bisa tahan lama, lumbung selalu dirawat secara rutin. Atap merupakan bagian lumbung yang paling sering diganti supaya tidak bocor. "Biasanya hatep diganti setiap tiga tahun sekali," ujar Alim.
Selain perawatan secara fisik, lumbung dilindungi oleh puun (tetua adat) dengan mantra- mantra. Di bawah lantai lumbung biasanya digantung perupuyan (semacam tungku terbuat dari batok kelapa yang diisi abu dari tungku masak untuk membakar gaharu (cendana). Asap gaharu berbau wangi sebagai penghormatan kepada Sang Hyang Asri (Dewi Sri).
"Sesajian ini untuk merawat padi supaya tetap baik," tutur Sanip (28), seorang warga Baduy Luar.
Hama padi yang dianggap paling mengganggu adalah tikus. Orang Baduy menangkal tikus dengan memasang gelebeg pada lumbung. Gelebeg merupakan papan kayu berbentuk bundar dengan diameter sekitar 50 cm. Dipasang di atas empat tiang penyangga tepat di bawah lantai lumbung. Bentuk gelebeg yang bulat dengan diameter yang cukup besar menyebabkan tikus tidak bisa naik ke lumbung padi.
PEMBUATAN lumbung tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Peran puun sangat besar dalam proses pembuatan leuit. Kesalahan penghitungan pembuatan lumbung padi dipercaya akan membawa malapetaka bagi kampung. Lokasi dan waktu pembuatan dihitung berdasarkan peredaran bulan, ujar Ayah Mursid (33), Wakil Jaro Cibeo. "Lumbung harus dibangun di luar kampung karena takut kampung terbakar," katanya menambahkan.
Untuk membuat lumbung diperlukan bambu apus untuk rangka atap. Kayu kikacang untuk tiang penyangga, daun kirai untuk atap. Daun aren bisa juga digunakan untuk atap.
Paku besi tidak boleh digunakan untuk menyatukan sambungan kayu. Orang Baduy Dalam menggunakan kayu sebagai kancing antarsambungan kayu.
Masyarakat Baduy yang memiliki kepercayaan Sunda Wiwitan dikenal pula memiliki filosofi: pondok teu meunang disambung, nu panjang teu meunang dipotong (yang pendek tak boleh disambung dan yang panjang tak boleh dipotong). Maknanya, orang Baduy pada dasarnya menerima alam sebagaimana adanya.
Kompleks lumbung biasanya berjarak sekitar 20 meter dari kampung. Dibatasi oleh kebun dengan pohon-pohon besar serta aliran sungai kecil.
Pembangunan leuit biasa dilakukan secara gotong royong maupun satu keluarga. Jika dibangun satu keluarga, membutuhkan waktu sekitar sebulan.
PADI di lumbung merupakan cadangan pangan sampai panen berikutnya. Masyarakat Baduy selalu menyisakan padi di lumbung sekitar 200-300 ikat. Ini dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan hasil panen berikutnya yang kurang baik.
Cadangan padi diambil sedikit demi sedikit tiap beberapa hari sekali. Ibu-ibu warga Baduy menumbuk seikat padi pada pagi hari sebelum berangkat ke huma.
Padi ditumbuk dengan lesung besar yang diletakkan di pinggir permukiman. Dalam satu kampung, hanya ada satu lesung yang digunakan secara bersama-sama. Lesung diletakkan dalam saung lisung, yaitu bangunan mirip rumah tanpa dinding, berlantai tanah, dan beratap daun kirai.
SETIAP warga Baduy boleh memiliki lumbung lebih dari satu. Jumlah lumbung disesuaikan dengan luas huma yang diolah oleh tiap keluarga. Semakin luas huma, jumlah lumbung padi semakin banyak.
Menurut Dr Ayatrohaedi (65), antropolog dari Universitas Indonesia, jumlah lumbung sering diartikan sebagai simbol kekayaan oleh orang luar Baduy. Tetapi, masyarakat Baduy tidak memiliki konsep tingkatan sosial yang membedakan masyarakat berdasarkan harta. Setiap warga diposisikan sederajat dari segi ekonomi.
Kesetaraan ini tercermin pada pitutur (nasihat) yang sering diucapkan oleh puun pada berbagai upacara adat.
Judistira Garna dalam bukunya Orang Baduy menuliskan, "Supaya tak terlalu tinggi rendahkanlah, hendaknya sama rata. Bila ada yang rendah, mohon hendaklah ditinggikan, supaya tetap tegar, tetaplah kekal, demikianlah ciri buktinya." (Y05)
Links :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar