Rabu, 24 Oktober 2007

Sejarah Singkat Rokok Kretek Indonesia

Kretek

Kretek ialah rokok yang diperbuat daripada sebatian tembakau, bunga cengkih, dan 'sos' perisa. Namanya rokok ini merupakan perkataan Indonesia yang berasal daripada bunyi gemersik yang dihasilkan oleh bunga cengkih apabila dibakar. Secara amnya, kretek mengambil masa yang lebih lama untuk menghisap, berbanding dengan rokok biasa yang mempunyai saiz yang sama.

Kretek dicipta pada awal 1880-an oleh Haji Jamahri, seorang penduduk Kudus, Jawa, Indonesia, sebagai caranya untuk menghantar ubat eugenol daripada bunga cengkih ke dalam paru-paru kerana ubat ini dipercayai dapat merawat asma ketika itu. Apabila sakit dadanya pulih disebabkan "rawatan"nya itu, beliau memulakan pemasaran ciptaannya di kampungnya tetapi sebelum beliau dapat menjualnya secara besar-besaran, beliau meninggal dunia. M. Nitisemito kemudian mengambil alih tempatnya dan memulakan memperdagangkan rokok baru ini.

Kretek merupakan jenis tembakau yang jauh lebih banyak dihisap di Indonesia, di mana hampir 90% daripada perokok-perokok menghisap kretek berbanding tembakau biasa. Terdapat beratus-ratus pengilang kretek di Indonesia, termasuk syarikat-syarikat tempatan yang kecil serta jenama-jenama yang utama. Kini pengilang-pengilang kretek di Indonesia menggajikan melebihi 180,000 pekerja, dan menyebabkan negara ini merupakan 95% daripada pasaran bunga cengkih di seluruh dunia. Kebanyakan jenama antarabangsa yang terkenal, termasuknya Bentoel, Djarum, Gudang Garam, Sampoerna, Dji Sam Soe, dan Wismilak, berasal dari Indonesia.

Di Amerika Syarikat, kretek telah dikaitkan dengan seniman-seniman dan subbudaya-subbudaya goth, punk, serta indie. Nat Sherman di Amerika Syarikat juga menghasilkan rokok dengan jenama "A Touch of Clove", tetapi rokok ini bukannya kretek yang benar kerana ia mengandungi perisa bunga cengkih di dalam penapis rokok dan bukannya bunga cengkih yang benar yang dicampurkan dengan tembakau.

Sejarah Singkat Rokok Kretek Indonesia

Tulisan awal tentang tembakau berasal dari Christophorus Columbus tahun 1492, yang
melaporkan penduduk asli Benua Amerika senang menghisap tembakau untuk mengusir
rasa letih. Daun tembakau juga digunakan untuk keperluan upacara ritual dan bahan
pengobatan di kalangan Suku Indian. Kemudian para penakluk dan penjelajah dari Eropa
mulai menghisap daun tembakau sehingga kebiasaaan ini menyebar keseluruh penjuru
dunia (Budiman & Onghokham,1987).

Rokok merupakan benda yang tidak asing lagi bagi penduduk Indonesia malahan
keberadaan rokok di Indonesia sudah mengakar. Legenda percintaan antara Roro Mendut
dan Pranacitra yang menampilkan ikon rokok sebagai obyek dari cerita yang ada di Jawa
tersebut membuktikan bahwa keberadaan rokok di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia
pada umumnya sudah mapan. Legenda tersebut mengkisahkan Roro Mendut yang dibebani
pajak oleh Tumenggung Wiraguna sebesar tiga real sehari yang disebabkan cintanya
ditolak oleh Roro Mendut. Untuk membayar pajak yang dibebankan oleh Tumenggung
Wiraguna maka Roro Mendut membuka home industry rokok. Rokok produksi Mendut
diserbu peminat khususnya kaum pria, salah satunya adalah Pranacitra yang kemudian
menjalin cinta dengan Mendut.

Kebiasaan merokok mulai menyebar di pulau Jawa karena adanya kabar bahwa
kebiasaan merokok dapat menyembuhkan sakit bengek atau sesak napas. Mula-mula Haji
Djamari penduduk Kudus yang menderita sakit di bagian dadanya mempelopori
penggunaan minyak cengkeh dalam mengobati penyakitnya dan ternyata penyakitnya mulai
sembuh. Dengan naluri bisnisnya maka Haji Djamari mulai membuat “rokok obat” yang
diproduksi dalam skala industri rumah tangga dan laku di pasaran. Pada saat itu “rokok
obat” lebih dikenal dengan nama “rokok cengkeh”, kemudian sebutan tersebut berganti
menjadi “rokok kretek” karena bila rokok ini dibakar maka berbunyi berkemeretekan.
(Budiman & Onghokham,1987)

Perkembangan rokok kretek Indonesia dimulai di Kudus pada tahun 1890 kemudian
menyebar ke berbagai daerah lain di Jawa Tengah antara lain Magelang, Surakarta, Pati,
Rembang, Jepara, Semarang juga ke Daerah Istimewa Yogyakarta (Gatra, 2000: 54).
Perkembangan industri rokok di Indonesia ditandai dengan lahirnya perusahaan rokok
besar yang menguasai pasar dalam industri ini, yaitu PT. Gudang Garam,Tbk yang berpusat
di Kediri, PT. Djarum yang berpusat di Kudus, PT.HM Sampoerna, Tbk yang berpusat di
Surabaya, PT. Bentoel yang berpusat di Malang dan PT. Nojorono yang berpusat di Kudus.
Rokok Indonesia memiliki cita rasa yang berbeda dengan rokok luar negeri yang
biasa dikenal dengan nama rokok putih. Rokok Indonesia, yang dikenal dengan rokok
kretek (clove cigarette), mempunyai cita rasa yang berbeda karena adanya pemanfaatan
bahan baku cengkeh (sebagai tambahan aroma) selain tembakau sebagai bahan pokoknya.
Dalam sejarah perkembangannya produksi rokok cenderung mengalami peningkatan. Hal
ini disebabkan oleh banyak hal, salah satu sebabnya adalah makin dikenalnya rokok kretek
sehingga permintaan untuk rokok kretek meningkat. Sebelum tahun 1975 industri rokok
Indonesia masih didominasi oleh rokok putih yang diimpor. Setelah tahun 1975 industri
rokok kretek mampu menjadi primadona di negerinya sendiri.

Industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja
(sumber daya manusia, SDM). SDM dibutuhkan mulai dari penanaman tembakau dan
cengkeh di perkebunan, pengeringan tembakau dan cengkeh, perajangan tembakau dan
pelintingan rokok di pabrik-pabrik sampai pedagang asongan yang memasarkan rokok di
jalanan. Industri rokok di Indonesia menyerap tenaga kerja sekitar 500.000 karyawan, yang
bekerja langsung pada pabrik dan pada seluruh level struktur organisasi (Swasembada,
1999: 44). Penyerapan tenaga kerja tidak hanya ada di pabrik rokok saja tetapi bila
ditambah dengan jumlah orang yang terlibat dari hulu sampai hilir yang diawali dengan
petani tembakau dan cengkeh, karyawan produksi kertas pembungkus rokok, sampai
karyawan dalam jalur distribusi (ritel, outlet dan pedagang asongan), jumlah tenaga kerja
yang terserap dalam industri ini sekitar 18 juta jiwa (Gatra, 2000: 48). Perkembangan
teknologi memacu juga modernisasi industri rokok di Indonesia diawali dengan mesinisasi
yang dipelopori oleh PT. Bentoel pada tahun 1968 sehingga produksinya disebut dengan
sigaret kretek mesin (SKM). Walaupun ada modernisasi tetapi kebutuhan tenaga kerja
masih tetap tinggi yang diserap oleh proses produksi pelintingan rokok yang dikerjakan
oleh tenaga manusia dan kita kenal produknya selama ini dengan nama sigaret kretek
tangan (SKT).

3 komentar:

giri amerta mengatakan...

bagus sekali mas tulisannya. salam kenal

pemoeda-pemoedie mengatakan...

Salam kenal :) hehe...

LiLLy mengatakan...

mw tanya...
ada ga' ya arsip tentang perkembangan rokok kretek di kudus?? kl iya di mana????thx b4..